Setelah urusan passport saya selesai (setelah berbulan-bulan lamanya), kami pun mulai dengan proses pengurusan visa. Sebagai syarat untuk pengajuan visa keluarga, kami harus menyiapkan financial proof, berupa Bank Reference yang menyebutkan bahwa pemilik rekening menjamin/men-support suami dan anak-anak saya. Seharusnya kami tidak perlu pinjam uang dengan cara memindahkan uang tersebut ke rekening atas nama saya atau suami. Siapa saja yang mempunyai tabungan cukup, bisa menjadi penjamin visa. Kami datang ke bank tempat membuka tabungan, mengajukan surat permohonan ke bank, dan surat itu jadi keesokan harinya. Hanya saja, di surat itu saya tidak minta ke bank untuk mencantumkan ekuivalensi jumlah tabungan dalam US$, jadi mesti minta ulang.
Jumlah ekuivalensi tabungan yang disyaratkan oleh Fulbright untuk menanggung keluarga sbb: dependent 1=50% annual stipend grantee; dependent 2 dst=25% annual stipend/orang. Untuk kasus saya, karena membawa 3 dependents, berarti 100% annual stipend.
Bank reference dan copy passport sekeluarga saya kirim ke Aminef. Selanjutnya, Aminef mengirimkan dokumen tersebut ke IIE untuk mendapatkan dokumen DS 2019. Dokumen DS ini yang nantinya akan dipakai untuk mengajukan visa. O ya, alhamdulillah saya juga dapat beasiswa PEO IPS Scholarship yang bisa saya pakai untuk support dependents. Jadi acceptance letter dari PEO juga saya kirim ke Aminef dengan catatan bahwa PEO menyetujui grantnya dipakai untuk dependents.
Hingga kira-kira akhir bulan Juni 2007, saya masih sibuk menyiapkan dokumen yang diminta embassy untuk pengajuan visa (setelah saya mendapat kiriman DS 2019 dari IIE). Dokumen-dokumen ini harus diisi online dan langsung diprint: DS 156 untuk saya dan anak-anak, DS 157 untuk suami, dan DS 158 untuk saya dan suami. Ngisinya agak-agak repot dan mesti teliti. Sudah gitu nggak bisa di-save. Sementara setiap kali mengisi ulang, barcode yang ada di form itu juga berubah. Saya ingat, saya bolak-balik mengirim dokumen itu ke Mbak Ratna, di-review, lalu saya perbaiki (tepatnya diisi ulang dari awal).
Minggu pertama Juli sudah lewat, tapi panggilan untuk visa belum juga kami terima. Setelah menelpon ke Mbak Ratna beberapa kali, akhirnya panggilan itu datang juga. Saya dan suami dapat jadwal interview tanggal 10 Juli 2007, kira-kira 12 hari sebelum saya harus tiba di Penn untuk pre-ac, dan 8 hari dari hari keberangkatan yang kami rencanakan. Jadwal itu juga sehari setelah suami operasi gigi. Saya sempat becandain, kalau memang besok ditanya yang agak-agak susah sama petugas embassy, kasih alasan saja lagi sakit gigi, biar bisa pakai bahasa tarzan. 
Hari Selasa pagi hari ke-10 bulan Juli itu, saya dan suami berangkat pagi-pagi ke Jakarta. Anak-anak tetap di Bandung, dijaga Mbak. Sampai di embassy sekitar jam 5 pagi, dan sudah terlihat sederet pengantri di samping gedung embassy. Di samping ini maksudnya di luar ya. Di jalan di samping embassy, di bawah rel kereta Gambir. Banyak nyamuk pula. Lumayan lama menunggu, kira-kira jam 6:30 kami mulai jalan berbaris ke depan gerbang embassy yang berpagar tinggi. (Ngom0ng-omong, setelah masuk ke balik pagar, kami baru sadar kalau sebetulnya nggak perlu gitu-gitu amat antri visa. Datang siangan juga nggak papa, karena antrinya sama saja.)
Kami melewati pemeriksaan di depan gerbang, lalu terus berbaris hingga ke dalam. Fulbrighters dan dependentsnya tidak perlu bayar ongkos visa yang lumayan besarnya. Alhamdulillah. Karena belum tentu apply visa langsung dapet. Ada banyak kasus yang visanya ditolak, padahal bayarnya mahal juga. Dokumen-dokumen dengan foto yang diatur sedemikian disiplin (ukuran dan proporsi wajah dalam foto) diperiksa petugas. Lalu kami masuk ke ruang loket, setelah melalui pemeriksaan dan penitipan barang. Antrian di dalam lumayan banyak (untung tidak disediakan TV yang memutar sinetron, hehehe…).
Menunggu dipanggil terasa tanpa akhir. Yang lebih bikin kami stres, beberapa orang (termasuk yang bahasa Inggrisnya bagus) ditolak dengan alasan yang kadang kurang jelas. Kami cuma bisa berdoa dan berdoa supaya dimudahkan dan diberi kelancaran.
Ketika giliran kami dipanggil, saya cuma ditanya, “Fulbright?” Lalu suami saya ditanya, “Dulu sekolah di mana? Di sana mau kerja? Mau sekolah?” Semua dalam Bahasa Inggris, dan dijawab dengan jawaban yang sederhana saja. Buku tabungan dan segepok sertifikat yang kami bawa sama sekali tidak dibutuhkan. Petugasnya langsung kasih cap, lalu mengulurkan receipt untuk mengambil visa. Visa saya dan anak-anak akan siap dalam waktu 2 hari, sedangkan visa suami akan siap dalam waktu 1 minggu. Satu minggu?!? Itu kan 1 hari sebelum hari keberangkatan yang kami rencanakan! Alhamdulillah… dan kami merasa lega, semua akan berjalan sesuai rencana. Setidaknya begitu, sampai kami ketemu Pak Piet dan Mbak Ratna di Aminef siang itu. Menurut Pak Piet, visa applicant laki-laki harus melewati proses screening dulu di US. Proses screening ini bisa memakan waktu beberapa hari hingga berbulan-bulan, atau tidak lolos screening sama sekali. Saya bersikeras kalau petugas visa sudah menjanjikan visa suami selesai minggu depan, tapi menurut Pak Piet, kemungkinan mundur itu masih ada. Dan siapa pun memang tidak bisa menjamin!
Di Aminef seusai interview visa itu, kami juga diskusikan soal tiket keluarga dengan Mbak Ratna. Mbak Ratna menawarkan jasa travel yang biasa menyediakan tiket untuk Fulbrighters dengan harga kira-kira $1,500. Keuntungannya, tentu kami tak perlu pusing memikirkan pemesanan (selain pusing memikirkan harganya, tentu saja) dan bisa dilakukan oleh Aminef segera setelah visa suami issued. Saya agak berat menerima tawaran ini, karena Interlink di Bandung menawarkan tiket yang lumayan lebih murah (mungkin karena dipesan dari jauh hari). Untuk suami, tiketnya seharga $980, sedang untuk anak-anak $770. Akhirnya kami nego supaya kami bisa pesan tiket di Bandung, lalu pemesanan tiket saya ditarik ke travel agentnya Aminef (supaya tempat duduk dan pesawatnya juga bisa barengan dengan keluarga).
Dua hari setelah interview, visa saya dan anak-anak siap. Alhamdulillah. Tiket di Interlink pun kami bayar karena memang sudah harus dibayar, kalau nggak mau dapet tiket yang lebih mahal. (Padahal visa suami belum tentu terbit minggu depan). Tapi ya sudahlah… kami harus putuskan, meski sulit.
Rumah di Bandung mulai kami kosongkan. Kami buat sale untuk tetangga-tetangga. Kopor pun satu persatu diisi, ditimbang, dan dibongkar, lalu dipak lagi. Kontrak dengan calon penghuni baru pun kami selesaikan. Malam minggu terakhir, kami buat kumpul-kumpul sederhana dengan tetangga sambil makan jagung bakar dan nasi liwet.
Sehari sebelum jadwal keberangkatan kami ke Amerika, kami sekeluarga boyongan ke Jakarta membawa kopor untuk ke Amerika dan barang-barang yang akan kami titipkan di rumah ibu. Hari itu juga jadwal untuk mengambil visa suami. Meski lega akhirnya urusan rumah beres, tapi kami juga dag-dig-dug memikirkan visa. Sekitar jam 3 sore, di tol Purbaleunyi, saya menelpon Bu Lusi, salah seorang petugas embassy yang membantu mengambilkan visa Fulbrighters. Dan yang kami khawatirkan pun terjadi! Lemas rasanya mendengar visa suami belum jadi. Belum jadi! Dan besok sore pesawat kami sudah akan terbang menuju Amerika!